Picu Kasus Kematian Pertama di China, Flu Burung H3N8 Bisa Menyebar di Manusia?

China mencatat kasus kematian pertama akibat flu burung H3N8, yakni subtipe virus yang umumnya hanya menyerang unggas. Sebelumnya, sudah ada dua pasien juga terjangkit jenis virus serupa dan seluruhnya berada di China.
Kematian tersebut dialami seorang wanita berusia 56 tahun asal provinsi selatan Guangdong. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (11/4/2023) melaporkan, wanita tersebut merupakan orang pertama di dunia yang meninggal dunia akibat jenis flu burung yang jarang pada manusia. Namun, jenis itu tampaknya tidak menyebar antar manusia.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Provinsi Guangdong sempat melaporkan kasus infeksi ketiga H3N8 akhir bulan lalu, tetapi tidak memberikan rincian kematian wanita itu.

Lebih lanjut WHO melaporkan, pasien yang meninggal dunia tersebut memiliki beberapa kondisi yang mendasari. Mengacu pada sampel yang dikumpulkan dari pasar basah yang sempat dikunjungi wanita tersebut sebelum jatuh sakit, ditemukan ada positif influenza A(H3), yang diduga menjadi sumber infeksi. Kemudian, pasien tersebut juga memiliki riwayat paparan dengan unggas hidup.

Menurut WHO, tidak ada kasus lain yang ditemukan di antara kontak dekat dari wanita yang terinfeksi tersebut.

“Berdasarkan informasi yang ada, tampaknya virus ini tidak memiliki kemampuan untuk menyebar dengan mudah dari orang ke orang, sehingga risiko penyebarannya antar manusia di tingkat nasional, regional, dan internasional dinilai rendah,” lapor WHO, dikutip dari Reuters, Kamis (13/4).

Meskipun jarang terjadi pada manusia, H3N8 umum terjadi pada burung yang menyebabkan sedikit atau tidak ada tanda-tanda penyakit. Virus ini juga bisa menginfeksi mamalia lain.

Hingga kini, pemantauan terhadap semua jenis virus flu burung dianggap penting lantaran virus ini dianggap mampu berkembang dan berpotensi memicu pandemi.

Kaum muda di AS menolak jejaring sosial untuk menjaga kesehatan mental mereka

Di Amerika Serikat, beberapa anak muda memperingatkan tentang bahaya jejaring sosial. Yang lain meninggalkan ponsel pintar mereka, sementara para orang tua menggugat jejaring sosial karena dianggap membahayakan kesehatan mental anak muda.

Di Amerika Serikat, bahaya kecanduan jejaring sosial semakin dikecam oleh banyak orang tua yang memiliki anak remaja. Beberapa anak muda sendiri berusaha menghindari jejaring sosial untuk menjaga kesehatan mental mereka.

Ada sekelompok kecil anak perempuan SMA di Brooklyn, New York. Saat berusia 12 atau 13 tahun, Aliza, Clémentine, dan Odile berpikir bahwa jejaring sosial sangat keren sehingga mereka mengikuti setiap tren yang ada. Sekarang mereka tidak bisa menggunakan Insta, Facebook, atau Twitter. Mereka memiliki ponsel flip dan mereka menginginkannya seperti itu! Telepon mereka hanya untuk menelepon!
Ketika saya mendapatkan ponsel flip saya,” kata Lola di New York Times, “semuanya berubah. Saya akhirnya menggunakan otak saya.”

Gerakan di New York tidak sendirian dalam mempertanyakan jejaring sosial. Emma, seorang mahasiswa, memberikan kesaksian dalam acara CBS yang serius, 60 Minutes. Pada usia 12 tahun, dia menemukan jejaring sosial. Terhubung dengan dunia dari kota asalnya, Birmingham, Alabama, ia membuka akun Instagram. Dia dengan cepat mengukur kebahagiaannya dengan jumlah pengikut dan suka. Dia menghabiskan waktu berjam-jam untuk foto-foto tubuh wanita yang sempurna karena sudah diperbaiki. Emma kemudian dinyatakan mengalami gangguan makan yang serius. Dia sekarang berusia 19 tahun dan telah pulih, tetapi dia mengkhawatirkan anak-anak bungsunya, yang berusia 13-15 tahun, dan meminta perwakilan terpilih dan meminta debat parlemen. “Saya tidak bisa membayangkan krisis kesehatan mental yang harus dihadapi oleh generasi mendatang.

1.200 keluarga menggugat jejaring sosial

Yang lainnya memilih jalur hukum. Lebih dari 1.200 keluarga menggugat perusahaan induk TikTok, Snapchat, YouTube, Roblox, Instagram, dan Facebook. Beberapa dari keluarga ini telah kehilangan seorang anak karena bunuh diri setelah mereka melihat tutorial di Instagram tentang cara gantung diri. Yang lain telah melihat anak mereka layu. Contohnya, Spences. Anak perempuan mereka, Alexis, mendapatkan telepon pada usia 11 tahun. Pada usia 12 tahun, dia mengalami gangguan. Di Instagram, dia mendapatkan lebih banyak iklan untuk produk pelangsing. Kemudian algoritme mendorongnya ke situs-situs gerakan pro-anoreksia. Dia kemudian mengalami gangguan makan yang parah. Orang tua tersebut menuntut Meta, perusahaan induk Instagram. Menurut dokumen internal rahasia, para karyawan memperingatkan manajemen tentang risiko kesehatan mental bagi kaum muda. Pengacara orang tua Alexis telah meluncurkan Pusat Pembelaan Korban Jejaring Sosial. Menurutnya, para raksasa teknologi sengaja membuat jaringan tersebut menjadi adiktif. Hal ini mengingatkan kita pada metode raksasa tembakau.

Long Covids dan kelelahan kronis: dua sindrom, gejala yang sama. Apa itu dan bagaimana memperlakukannya

Mereka memiliki banyak kesamaan. Penting untuk membedakannya, tetapi juga untuk menemukan terapi yang dapat menangkalnya

Kelelahan, rasa sakit, kelemahan, kabut mental, dan sesak napas adalah gejala umum bagi penderita penyakit Long Covid, tetapi tidak eksklusif untuk kondisi ini. Bahkan, gejala-gejala ini juga mencirikan sindrom lain yang sudah ada jauh sebelumnya: sindrom kelelahan kronis atau encephalomyelitis (ME) Sindrom kelelahan kronis (CFS).

Sindrom kelelahan kronis
ME/CFS sangat heterogen, mempengaruhi banyak orang. Secara umum, kita bisa menggambarkannya sebagai sindrom multi-organ yang ditandai oleh banyak gejala yang berbeda, yang menyebabkan penurunan kualitas hidup. Gejala-gejala yang berkaitan dengan ME/CFS sangat banyak, dan hal ini mempersulit diagnosis penyakit, yang sangat sering diremehkan atau tidak dipahami oleh dokter.

Prevalensi tertinggi pada populasi wanita Barat antara usia 40 dan 60 tahun. Di AS saja, diperkirakan 2 juta orang terkena dampaknya dan 70% penderita ME/CFS tidak dapat bekerja. Penyebabnya tidak diketahui, meskipun ada beberapa pemicu potensial: infeksi virus, peradangan dan auto-imunitas.

Dalam beberapa kasus, hubungan sebab-akibat dapat ditetapkan antara timbulnya ME/CFS dan infeksi virus dengan virus seperti Epstein-Barr atau virus Ross-River. Dan, ada hipotesis bahwa epidemi ensefalitis lesu, yang diamati pada awal tahun 1900-an, dapat dikaitkan dengan flu Spanyol dengan mekanisme yang sama. Saat ini, pengobatan jarang dilakukan dan cenderung membatasi gejala. Lebih jauh lagi, tidak ada protokol untuk merawat pasien yang terkena dampaknya.

Penyerapan kalsium
ME/CFS dan Long Covid tidak hanya berbagi gejala, tetapi juga penjelasan potensial pada tingkat biokimia. Faktanya, publikasi terbaru telah mengidentifikasi mekanisme biologis yang berubah pada ME / CFS dan Long Covid. Subjek yang terkena dampak kedua sindrom ini menunjukkan perubahan biokimia yang sama, perubahan ini berdampak pada penyerapan kalsium dengan implikasi multi-organ yang dapat menjelaskan banyak gejala.

Dua sindrom
Mempertimbangkan kesejajaran antara kedua sindrom tersebut, beberapa pertanyaan muncul: apakah pasien Long Covid akan menjadi pasien ME/CFS? Apakah mekanisme yang memicu ME/CFS sama seperti pada Long Covid? Apakah obat untuk ME/CFS juga akan bekerja pada Long Covid (dan sebaliknya).

Penelitian
Sebuah proyek yang disebut RECOVER telah dimulai di Amerika Serikat dengan tujuan untuk memahami sebanyak mungkin tentang Long Covid. Di 30 pusat penelitian yang terlibat, semua pasien yang mengalami gejala terkait Covid yang bertahan selama lebih dari satu bulan akan dipelajari. Proyek RECOVER tertarik untuk mengumpulkan informasi tentang pasien yang telah sembuh dari Covid, pasien yang menderita Long Covid dan juga individu yang belum pernah terjangkit penyakit tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk lebih mengkarakterisasi gejala, penyebab, tetapi terutama predisposisi individu untuk mengembangkan Long Covid atau tidak.

Proyek RECOVER mungkin juga memiliki implikasi penting bagi individu yang menderita ME / CFS karena mereka memiliki banyak elemen yang sama dengan penderita Long Covid dan layak mendapatkan perhatian dan upaya yang sama untuk menyelesaikan kondisi mereka.

PESAN YANG BISA DIBAWA PULANG:
1. Persentase penderita Covid yang tidak dapat diabaikan mengembangkan gejala persisten dengan mengembangkan sindrom Long Covid

2. Banyak gejala Long Covid yang dimiliki oleh sindrom kelelahan kronis

3. Tidak ada penjelasan tunggal untuk kedua sindrom tersebut, tetapi keduanya memiliki beberapa proses biokimia yang berubah

4. Sebuah proyek penelitian yang bertujuan untuk memahami Long Covid dengan potensi efek positif pada pasien ME/CFS dimulai di AS

Temuan BPOM RI di Balik Gaduh Sirup Paracetamol Picu Lonjakan Kasus Gagal Ginjal

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) ikut menanggapi gaduh sirup paracetamol atau obat batuk menyebabkan 69 anak di Gambia, Afrika Barat, meninggal dunia. Seperti diketahui, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya mengidentifikasi empat obat yang diduga menjadi ‘biang kerok’ puluhan anak meninggal.
Bukan tanpa sebab, empat obat tersebut diketahui terkontaminasi dietilen glikol dan etilen glikol. Apakah keempat obat tersebut beredar di Indonesia?

“Sirup obat untuk anak yang disebutkan dalam informasi dari WHO, terdiri dari Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup. Keempat produk tersebut diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals Limited, India,” jelas BPOM RI dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom Rabu (12/10/2022).

“Berdasarkan penelusuran BPOM, keempat produk tersebut tidak terdaftar di Indonesia dan hingga saat ini produk dari produsen Maiden Pharmaceutical Ltd, India tidak ada yang terdaftar di BPOM,” sambung BPOM.

Meski begitu, BPOM memastikan akan terus memantau perkembangan produk sirup obat yang terkontaminasi di Gambia. Disebutkan, BPOM akan terus melakukan komunikasi dengan WHO dan otoritas obat negara lainnya.

Di sisi lain, BPOM meminta masyarakat untuk tidak panik dan ikut resah menanggapi pemberitaan kasus gagal ginjal di Gambia. Adapun kekhawatiran kontaminasi obat bisa langsung ditanyakan melalui apoteker, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya.

Positif Corona RI 12 September Tambah 1.848 Kasus, Sembuh 3.465 Orang

Pemerintah memperbarui jumlah kasus Corona atau COVID-19 di Indonesia. Ada 1.848 kasus Corona baru yang terkonfirmasi di Indonesia dalam 24 jam terakhir.
Data penambahan kasus Corona di Indonesia dipublikasikan oleh Humas BNPB, Senin (12/9/2022). Data tersebut diperbarui setiap hari dengan cut off pukul 12.00 WIB.
Dengan tambahan kasus itu, jumlah total kasus COVID-19 yang ditemukan di Indonesia sejak Maret 2020 hingga hari ini menjadi 6.394.340 kasus.
Dari jumlah tersebut, 32.312 di antaranya kasus aktif atau pasien dinyatakan masih positif Corona. Jumlah itu turun 1.634 kasus dibanding kemarin.

Selain itu, ada 3.465 orang di Indonesia yang sembuh dari COVID-19 dalam sehari. Jumlah total kasus sembuh dari Corona di RI sebanyak 6.204.241 orang.

Pemerintah juga melaporkan ada 17 pasien Corona yang meninggal dunia dalam 24 jam terakhir. Jumlah total kematian Corona di Indonesia menjadi 157.787 kasus.
Pemerintah telah menggelar program vaksinasi COVID-19 agar tercipta kekebalan komunal (herd immunity). Pemerintah juga telah menggulirkan program vaksinasi dosis ketiga atau booster bagi warga. Selain itu, ada vaksinasi dosis keempat yang diutamakan bagi tenaga kesehatan.

Pemerintah juga masih menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk menekan laju penyebaran Corona. Warga diminta menaati aturan yang diberlakukan selama PPKM agar pandemi virus Corona dapat teratasi.